Pensil Warna

Aku suka sekali menggambar. Suatu ketika saat aku masih di sekolah dasar, temanku ini mempunyai pensil warna. Aku juga punya sih, tapi dia orangnya sangat ceroboh. Pensil warnanya selalu tersenggol di mejanya ketika dalam keadaan terbuka penutupnya, lalu akhirnya berserakan di lantai kelas. Aku yang di sebelahnya selalu membantunya dan bergumam kesal ketika ia menjatuhkannya. Kemudan ia selalu minta maaf akan hal itu. Yah, tidak apa-apa.
Lalu waktu istirahat pun tiba. Aku sudah menikmatinya hingga ketika ku balik ke kelas dan isinya hanya aku seorang, kembali lagi aku melihat serakan pensil warna itu. Saking kesalnya aku bereskan dan kusimpan di dalam tasku. Aku cekikan, ingin iseng sekali-kali kepadanya.
Ketika ia kembali, wajahnya panik tidak menemukan pensil warna di mejanya. Ia bertanya ke sana sini jawabannya nihil, iyalah orang ada di aku. Lalu ia pun pergi meninggalkan kelas, dan kembali dengan menangis bersama ibunya. Oh Tuhan, aku lupa ibunya itu galak!
Ibunya marah-marah di kelas dan seisi kelas menampang wajah ngeri dan tak tahu apa-apa. Kupikir, jika ada pengecekkan tas di kelas matilah aku. Ingin rasanya kukembalikan lagi, tapi apa daya aku terlalu takut dengan ibunya. Aku sangat-sangat takut dan akhirnya sampai aku lulus SD pun aku belum mengembalikannya.
Yang pasti beban ini masih menghantuiku. Dan saat aku kelas dua SMP, cerita itu menghampiriku. Ibu temanku itu telah meninggal dunia. Aku ikut bersedih, manusia macam apa aku? Sampai akhir hayatnya pun tidak memberi tahu kebenarannya.
Lalu datanglah aku dengan pensil warna yang baru. Ku berikan padanya dengan terisak-isak menjelaskan kejadian yang sebenarnya, padahal itu sudah enam tahun lamanya. Tapi dia malah tertawa dan bilang tidak apa-apa, dia tidak membutuhkannya. Dia memaafkanku dan aku benar-benar menyesal kepadanya. Aku tidak mau dia kehilangan lagi, dan kupikir ini semua salahku.
Mulai saat itu aku mencoba untuk berkata yang sebenarnya dan bertanggung jawab. Akan ada balasannya yang setimpal jika kau berani berkata jujur dan mempertanggung jawabkannya, yang penting hati kita lega.
-Namaku Sartika

Sumber : 
https://sartikahalimatuss.wordpress.com/2018/06/30/pensil-warna/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BANGUNAN KOLONIAL (GEREJA KATEDRAL, JAKARTA)